Pakar Hukum Pidana, Dr. Anwar Husin, S.H, M.M, ketika berbincang-bincang di sebuah hotel di Jakarta Selatan, Minggu malam (14/02), menilai, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum memiliki peran yang sangat penting dan vital, untuk pulihkan rasa keadilan di masyarakat.
Posisi jaksa sebagai profesi hukum merupakan penguasa hukum yang bisa ‘menggunakan’ hukum, baik itu untuk menegakkan hukum maupun untuk kepentingan lain. Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

Kejaksaan tambah Pakar Hukum Pidana tersebut memiliki sifat dan karakteristik organisasi yang berbeda dibandingkan dengan instansi/kementerian yang lainnya. Sudah semestinya kata Anwar, jaksa tidak hanya secara formal memenuhi unsur-unsur yang ada dalam perangkat peraturan perundang-undangan, tetapi juga harus melihat melalu hati nurani yang sesungguhnya terjadi di masyarakat.
Berbagai permasalahan yang terjadi di dalam tubuh kejaksaan, lanjut Anwar, salah satu akar masalahnya berawal dari kedudukan lembaga kejaksaan di dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Keinginan untuk menjadikan Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang independen telah lama diimpikan.
Penggantian Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan) didorong, adanya semangat reformasi, diantarnya penegakan hukum yang adil dan independen.
Setelah disahkan UU tersebut, Kejaksaan menghadapi beragam permasalahan baik secara internal kelembagaan maupun perkembangan penegakan hukum yang semakin rumit dan dalam skala yang luas. Berpuluh tahun kejaksaan mengalami dilema dalam proses penegakan hukum dan sistem peradilan di Indonesia.
Mulai dari perkara kecil yang harus dibawa ke meja hijau, perkara dengan kerugian kecil hingga keinginan korban yang ingin berdamai namun terbelenggu peraturan yang ada. Selain itu, banyaknya penghuni penjara menjadi problema selama ini terjadi.
Keadilan Substansial
Selama ini kata Anwar, hukum hanya berprinsip teguh terhadap keadilan yang sifatnya prosedural bukan keadilan substansial. Jaksa Agung tutur Anwar harus menerbitkan regulasi yang bisa memberikan rasa keadilan masyarakat.
Anwar menilai, banyak warga sebenarnya tidak ingin memperpanjang perkaranya, namun karena secara yuridis tidak bisa untuk menghentikan perkara mau tak mau perkaranya harus dilanjutkan. Seperti yang terjadi ketika kejaksaan membawa kasus Nenek Minah ke pengadilan karena mencuri tiga biji kakao.
Ataupun perkara Rasminah, asisten rumah tangga yang mencuri enam buah piring atau kakek Samirin di Simalungun, yang melakukan pencurian getah karet milik PT Bridgestone dengan berat 1,9 kilogram dan dengan harga Rp 17.000 kemudian didakwa dengan UU Perkebunan.
Seiring dengan berkembangnya permasalahan perkara pidana di Indonesia, maka sangat diperlukan suatu bentuk penyelesaian yang lebih mengedepankan keadilan subtansial. Keadilan substansial, akan menjamin hak-hak para korban, serta mengembalikan harmonisasi sosial di masyarakat.
Akhir-akhir ini penyelesaian perkara pidana kerap menimbulkan k etidakpuasan dalam masyrakat. Hal ini dikarenakan penegakan hukum pidana cenderung tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat kecil.
Melihat fenomena selama ini terjadi, kata Anwar menilai tidak semua perkara pidana harus diselesaikan melalui pengadilan, dan tidak semua pelaku kejahatan harus dipenjara. Keinginan untuk mewujudkan penyelesaian perkara pidana yang berkeadilan substansial ini tidak saja dari para pihak saja, melainkan dari para penegak hukum itu sendiri.
Berkaca dari contoh kasus Resminah, teori restorative justice sesungguhnya dapat dijadikan landasan dalam penyelesaian perkara pidana seperti itu. Restorative Justice merupakan salah satu model alternative dispute resolution di mana lebih ditujukan pada kejahatan terhadap sesama individu atau anggota masyarakat daripada kejahatan terhadap negara.
Restorative Justice menekankan pendekatan yang seimbang antara kepentingan pelaku, korban dan masyarakat di mana terdapat tanggung jawab bersama antar para pihak dalam membangun kembali sistem sosial di masyarakat.
Dalam Pasal 3 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15/2020 disebutkan bahwa penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum. Penutupan perkara demi kepentingan hukum tersebut dilakukan ketika terdakwa meninggal dunia, kedaluwarsa penuntutan pidana,,telah ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem).
Hal lain yang dapat menjadi alasan penutupan perkara yaitu pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali serta telah adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).
Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Pasal 4 dalam beleid tersebut tandas Anwar, dilakukan dengan memperhatikan kepentingan Korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi; penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; respon dan keharmonisan masyarakat; serta kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Adapun syarat tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif diatur dalam Pasal 5. (zul)