Jakarta-Indonesia Weekly
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) , boleh saja menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim.
Namun pemerintah tak mau tinggal diam dan akan terus memburu asset-aset terkait kasus BLBI yang mencapai Rp 108 Triliun. Keseriusan pemerintah tersebut tercermin telah dikeluarkannya Kepres No. 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.
Dalam Keppres tersebut ada 5 menteri ditambah Jaksa Agung dan Kapolri yang ditugasi mengarahkan Satgas untuk melakukan penagihan dan pemrosesan semua jaminan agar segera jadi aset Negara. “Kini Pemerintah akan menagih dan memburu aset-aset karena hutang perdata terkait BLBI yang jumlahnya lebih dari Rp108 Triliun,” tutur Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan dalam akun Twitternya @mohmahfudmd, Kamis 8 April 2021sebagaimana dikutip di media besar nasional.
Kucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh bank penerima dana didasarkan atas kebijakan pemerintah akibat adanya krisis moneter Tahun 1997/1998 dengan tujuan untuk memulihkan atau menyelamatkan stabilitas perekonomian negara yang diselewengkan, ternyata tidak dipergunakan sesuai tujuan dan tidak dikembalikan dalam tempo yang ditentukan.
Malah dana BLBI konon dipergunakan untuk kepentingan pribadi dengan kelompoknya (melibatkan para pejabat negara), untuk itu negara telah dirugikan, akibatnya goncangan perekonomian bangsa bertambah hebat.
Menurut pakar Hukum Pidana , Dr. Anwar Husin, S.H,M.M, apa yang dilakukan pemerintah untuk mengembalikan asset Negara sudah sangat tepat. Apalagi kasus BLBI ini sudah jelas terdakwanya dan terbukti di dalam persidangan. “Kasus BLBI juga merupakan kasus korupsi yang sudah jelas dan merugikan Negara yang sangat besar,”tukasnya.
Seharusnya kata Anwar,sejak awal penegak hukum dalam menangani kasus BLBI, mengunakan bauran hukum. Artinya bukan hanya ditangani melalui hukum perdata saja. Tetapi juga mengunakan pendekatan hukum pidana korupsi. “Ini kasus yang telah merugikan Negara raturasan triliun tetapi ditangani biasa-biasa saja,” jelasnya.
Kalau memang memungkinkan kasus BLBI ini ditangani mengunakan pendekatan restorative justice. Asalkan asset-aset Negara yang sudah hilang tersebut bisa kembali utuh. Jadi penekannya disini pada pemulihan kerugian negara,” kata Anwar.
Lebih lanjut ujar Anwar, pada model restoratif , penekanannya pada resolusi konflik, melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam menyelesaikan masalah. “Disamping itu, pelaku tindak pidana bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya,” tukas Anwar .
Untuk diketahui penyelesaian kasus BLBI nampaknya, tidak dapat diselesaikan melalui Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). “KUHP sebagai hukum positif, ternyata tidak dapat menyelesaikan tindak pidana korupsi secara tuntas, untuk itu diperlukan ketentuan hukum di luar KUHP,” tandas Dr. Anwar Husin, S.H,M.M, yang mengaku sedang dalam menyelesaikan buku penanganan Tindak Pidana Korupsi lewat Restoratif Justice.(zul)