Pelaku bisnis perikanan mengharapkan adanya keberpihakan dan kebijakan afirmatif yang bisa melindungi kepentingan dan meningkatkan kesejahteran para nelayan. Kendala yang dihadapi para nelayan bukan hanya kurangnya ketersedian solar subsidi.
Para nelayan dan pelaku bisnis perikanan dihadapkan, regulasi kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mentetapkan tarif indeks Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari ketetapan sebesar 10 persen yang berlaku saat ini.
Besaran tarif ini sebesar 10 persen untuk kapal di atas 60 GT dirasa berat oleh para nelayan apalagi kondisi eknonomi khususnya bidang perikanan yang tidak menentu saat ini.
Para pelaku perikanan mempertanyakan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penetapan Nilai Produksi Ikan pada saat Didaratkan, pemerintah, memperbaharui ketentuan dan regulasi mengenai PNBP di sektor perikanan dengan menghitung Nilai Produksi Ikan berdasarkan formula (Berat ikan hasil tangkapan x Harga Acuan Ikan).
Nilai Produksi Ikan pada saat didaratkan digunakan sebagai dasar penentuan besaran tariff PNBP yag berasal dari pemenfaatan sumber daya alam perikanan berupa Pungutan Hasil Perikanan Pascaproduksi.
Aturan tersebut mentetapkan tarif pungutan 10 persen terhadap para nelayan dengan kapal berukuran di atas 60 gros ton (GT). Namun, dampak penerapan pungutan itu ternyata sangat memberatkan pelaku bisnis perikanan.
Dikutif dari keterangan Direktur Perizinan dan Kenelayanan Ditjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ukon Ahmad Furqon hitung-hitungan nilai produksi ikan pada saat didaratkan dihitung berdasarkan formula berat ikan hasil tangkapan dikali Harga Acuan Ikan (HAI).
HAI sendiri ditetapkan dengan mengakomodasi hitungan biaya operasional atau harga pokok produksi (HPP). Dengan kata lain, HAI yang menjadi variabel penghitungan PNBP pascaproduksi menjadi solusi, karena mempertimbangkan biaya operasional atau HPP.
Namun, solusi tersebut katanya bersifat sementara, karena KKP sedang memproses revisi aturan indeks tarif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada kesempatan sebelumnya juga mengatakan, selain menunggu revisi PP 85/2021 dan memanfaatkan Permen KP 1/2023, untuk merespon persoalan indeks tarif PNBP pihaknya juga menerbitkan Permen KP 2/2023 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengenaan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan yang Berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam Perikanan.
Diketahui, penetapan PNBP pascaproduksi dilakukan KKP dengan mempertimbangkan rasa keadilan kepada semua pemilik kapal. Perubahan tersebut membuat pungutan hasil perikanan (PHP) tidak lagi dibayarkan berdasarkan perhitungan produktivitas kapal perikanan sebelum melakukan operasional penangkapan ikan, melainkan dibayar berdasarkan penghitungan volume produksi ikan riil setelah pelaku usaha melakukan usaha penangkapan ikan.
Adapun, penarikan PNBP Pascaproduksi menggunakan perhitungan indeks tarif berupa persentase (%) dikalikan nilai produksi ikan pada saat didaratkan berupa nominal rupiah (Rp). Untuk kapal penangkap berukuran sampai dengan 60 GT, indeksnya sebesar 5 persen, sedangkan kapal penangkap berukuran di atas 60 GT sebesar 10 persen.
Dengan berubahnya mekanisme pungutan dari praproduksi menjadi pascaproduksi, KKP kemudian memperkuat infrastruktur pelaporan menggunakan teknologi informasi. Upaya tersebut mendorong pelaku usaha mengisi secara mandiri data hasil penangkapan ikan pada aplikasi e-PIT.
Ukon Ahmad Furqon berharap, para pelaku usaha bisa melaporkan sesuai dengan hasil tangkapan dan Pemerintah akan melakukan verifikasi dengan detail. Jadi, kalau ada data seperti kekurangan bayar, maka otomatis pelaku usaha berkewajiban untuk membayar sisanya.
Tentang perubahan mekanisme pungutan, diatur tegas dalam Permen KP 85/2021. Pada mekanisme sebelumnya, PNBP Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dipungut secara praproduksi, yaitu membayar PHP sebelum melakukan usaha penangkapan ikan untuk setahun ke depan.
Sedangkan melalui mekanisme pascaproduksi, penarikan PNBP disesuaikan dengan volume ikan yang didaratkan, dengan bonus pengurusan surat izin penangkapan ikan (SIPI) tidak dikenai beban biaya. “Dengan demikian penarikan PNBP lebih berkeadilan karena sesuai tangkapan riil. Di samping itu pendataan pun menjadi semakin akurat,” jelasnya.
Namun, masa transisi peralihan dari mekanisme praproduksi ke pascaproduksi kerap terjadi kendala. Lantaran sering kali terjadi perbedaan timbangan antara pihak nelayan dan KKP. Dalam proses pencocokan terkadap pihak KKP tidak mau tahu dan kalau terjadi seperti itu maka pengurusan surat-surat kapal akan dihambat dan tentunya nelayan tak akan bisa melaut karena kelengkapan suratnya masih tahan KKP.
Pelaku usaha perikanan juga mempertanyakan dasar pertimbangan KKP terhadap kebijakan penetapan besaran tarif indeks sebesar 10 persen untuk kapal di atas 60 GT dan lima persen untuk kapal dibawah 60 GT. Padahal aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 Tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan farif 1 persen.
Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. Dan diaturan PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tariff 5 persen untuk PNBP. (zul)