Minta Dikaji Kembali! Pembagian Zona Penangkapan Ikan Beratkan Nelayan

foto kapal sandar di pelabuhan nelayan tradisional Muara Angke

Jakarta-Indonesia Weekly

Indonesia sebagai negara maritim yang kaya akan sumber daya alam lautan yang berlimpah ruah, menjadi modal dalam membangunan bangsa untuk dapat dimanfaatkan sebagai perwujudan kemakmuran rakyat.

Read More

Potensi sumber daya laut Indonesia yang begitu melimpah belum semuanya bisa dimanfaatkan dengan baik oleh bangsa Indonesia . Masih lemahnya system pengelolaan perikanan merupakan isu strategis dan permasalahan umum yang pokok dalam mewujudkan sektor perikanan berkelanjutan di Indonesia.

Dalam rangka memaksimalkan sumber daya laut yang melimpah Kementerian Kelautan dan Perikanan telah membuat kebijakan baru. Diantaranya aturan pembagian zona tangkap ikan. Yakni PP No. 11 Tahun 2023, dijelaskan bahwa Zona Penangkapan Ikan Terukur meliputi 2 (dua) hal, yakni Wilayah Pengelolan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) di perairan laut dan laut lepas.

Namun, PP tersebut  bukannya membantu para nelayan malah membuat banyak masyarakat nelayan  merasa  terbebani. Pasalnya mereka tidak bisa sembarangan pindah zona ke zona tangkap lainnya.  Mereka harus membuat izin baru Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) jika ingin pindah zona tangkap lainnya.

Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) adalah surat izin yang harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan kegiatan penangkapan ikan diperairan Indonesia dan atau Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari IUP yang selanjutnya disebut SPI. Masa berlaku SIPI selama 3 tahun.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono mencanangkan kebijakan WPPNRI sejak tahun 2022. Dalam skema tersebut ditetapkan zona dan pembagian kuota penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Menurut, pengurus kapal Nunung ditemui Indonesia Weekly Jumat pagi (01/11) di kawasan Muara Angke Jakarta Utara, mengatakan bahwa kebijakan KKP, memberlakuan penangkapan ikan terukur, nyaris tidak memberikan ruang adil dan berkelanjutan bagi kesejahteraan nelayan.

“Terlalu banyak aturan membuat mereka para nelayan semakin pusing bahkan ada yang akhirnya mengurung niat untuk melaut. Aturan pembagian penangkapan  terukur melalui zona tangkap cukup memberatkan para nelayan,”.ujarnya.

Lebih lanjut kata Nunung, terkait zona tangkap WPPNRI, KKP hendaknya mengkaji kembali aturan tersebut. Adanya aturan tersebut membuat nelayan yang ingin pindah zona tangkap harus kembali ke darat dan mengurus SIPI baru.

Hal itu tentunya sangat memberatkan para nelayan, ketika sedang melaut kemudian tidak ada ikan, untuk pindah ke zona lain para nelayan harus membuat SIPI baru dan pulang dulu ke darat. Tentunya kebijakan tersebut sangat memberatkan.

Minimal katanya jika, nelayan mau pindah ke zona, cukup diurus oleh pengurus kapal yang ada didarat saja. “Dengan demikian para nelayan dan pemilik kapal tidak terlalu dirugikan. Apalagi dengan pulang ke darat akan menambah pengeluran yang cukup besar seperti BBM dan kebutuhan operasional lainnya,”katanya.

Nunung mengatakan, iklim tidak menentukan sekarang ini telah menghancurkan kehidupan ekonomi nelayan. Ikan biasanya banyak di zona A karena iklim yang tidak menentu ikan pindah ke zona lain. Hal tentunya nelayan tidak tahu. Sebelum adanya aturan zona para nelayan bisa pindah ke zona lain. “Dengan adanya aturan baru nelayan tak bisa sembarangan,” tegasnya.

Berdasarkan catatan WALHI, sebagaimana dikutip Indonesia disebuah media nasional mengatakan bahwa, dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama 180 hari. Sementara 180 hari sisanya, harus alih profesi menjadi kuli kasar atau pedagang asongan. Artinya mengacu pada data WALHI kondisi para nelayan sangat memperihatinkan.

Pada masa-masa mendatang, krisis iklim akan memberikan dampak buruk jangka panjang bagi nelayan di Indonesia, diantaranya peningkatan suhu yang memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis. Hal ini akan mengurangi pendapatan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil di Indonesia. Jika demikian, Pemerintah Indonesia terbukti telah gagal, meskipun di berbagai forum internasional sering mengklaim berhasil melakukan adaptasi krisis iklim.

Sejatinya peranan Pemerintah dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan yang sangat berlimpah dituntut untuk melakukan terobosan-terobosan melalui penerapkan kebijakan strategis seperti pemberdayaan masyarakat nelayan, merupakan kebijakan yang sangat penting karena terkait dengan upaya mensejahterakan masyarakat.

 Zona Wilayah

Tahun 2022 ini diterapkan implementasi ekonomi biru yaitu penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang dibagi ke dalam 6 zona wilayah penangkapan dengan potensi yang sangat besar kurang lebih 12 juta ton. Setiap zona penangkapan dibagi ke dalam 3 kuota yaitu komersial, non komersial dan nelayan tradisional.

Pembagian zona dibagi menjadi Zona Penangkapan Ikan Berbasis Kuota, Zona Penangkapan Ikan Non Kuota, dan Zona Penangkapan Ikan Terbatas. Zona Penangkapan Ikan Berbasis Kuota terdiri dari Zona 01 yang berada di WPPNRI 711 (Perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara).

Zona 02 di WPPNRI 716 (Laut Sulawesi, dan sebelah Utara Pulau Halmahera) dan di WPPNRI 717 (Perairan Teluk Cendrawasih, dan Samudera Pasifik). Zona 3 di WPPNRI 715 (Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, dan Laut Seram), di WPPNRI 718 (Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur).

Zona 4 di WPPNRI 572 (Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera, dan Selat Sunda), dan di WPPNRI 573 (Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat).

Adapun Zona Penangkapan Ikan Non Kuota terdiri dari Zona 05 di WPPNRI 571 (Perairan Selat Malaka dan Laut Andaman). Zona 06 di WPPNRI 712 (Laut Jawa) dan di WPPNRI 713 (Perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali), dan terakhir Zona Penangkapan Ikan Terbatas berada di WPPNRI 714 (Teluk Tolo, dan Laut Banda. (zul)

Related posts