Jakarta Indonesia Weekly
Gugatan Rachmawati dkk bila dikaitkan dengan sengketa hasil Pilpres 2019, kurang tepat dan kadaluarsa. Sengketa Pilpres berdasarkan mekanisme ketatanegaraan, hanya bisa melalui Mahkamah Konstitusi ( MK) dan gugatan tidak melampaui 30 hari sebagaimana ketentuan KPU demikian kata Pakar Hukum Pidana Dr. H. Anwar Husin, S.H,M.M ketika diminta tanggapannya lewat handphone senin siang (13/07).
Rachmawati Soekarnoputri boleh saja menang dalam gugatannya,terkait Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon terpilih dalam Pemilihan Umum.
Namun, putusan MA itu, kata Anwar, tidak berdampak sama sekali terhadap kedudukan pasangan terpilih presiden Jokowi dan Ma’ruf Amin, karena secara teknis hukum berbeda, baik dari aspek yurisdiksi kewenangan antara MA dan MK maupun fungsionalisasi serta kepentingan peradilan dalam memutus perkara itu.
Peradilan hasil pemilu dan pilpres, katanya hanya ada di MK, bukan di Mahkamah Agung (MA). Segala perselisihan tentang hasil Pilpres 2019 berakhir di MK dan pelantikan Presiden dan Wapres telah dilaksanakan di MPR 20 Oktober 2019 lalu.
Selain itu kata Anwar putusan Nomor 44 P/HUM/2019, gugatan Rachmawati Soekarnoputri terkait Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum sudah kedaluwarsa. Dia menyebut gugatan yang diajukan Rachmawati itu, melampaui 30 hari batas waktu pengujian sebagaimana peraturan KPU.
Putusan MA itu juga katanya bersifat prospektif atau berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan. Sementara ketentuan Pasal 7 ayat (3) PKPU yang digugat Rachmawati itu mengacu pada Putusan MK Nomor 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 1945 dalam hal paslon capres dan cawapres hanya diikuti dua paslon.
Karena materi yang diuji sama, maka putusan MA itu berlaku juga terhadap Pasal 416 UU Pemilu yang mengatur pemenang pilpres adalah paslon dengan suara terbanyak. Dalam kondisi seperti itu tambah Anwar yang berlaku adalah suara terbanyak tanpa perlu diulang lagi untuk memenuhi syarat sebaran kemenangan di provinsi-provinsi seperti yang diatur dalam UUD 1945.
Mengacu pada Pasal tersebut hanya menjelaskan, paslon terpilih adalah mereka yang meraih suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Tetapi kata Anwar aturan pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon memang tidak diatur dalam Pasal 416 UU Pemilu.
Pada pilpres lalu, pasangan Jokowi-Ma’ruf unggul dengan meraup 55,5 persen suara dari Prabowo-Sandiaga Uno. “Putusan itu sama sekali tidak masuk atau menyinggung menang atau belum Jokowi dalam Pilpres 2019,” tukas Anwar.
Dalam kasus ini tambah Anwar MA hanya menguji secara materiil Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 apakah secara normatif bertentangan dengan Undang-undang di atasnya atau tidak. Dalam hal ini adalah UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Menurut Anwar persoalan ini harus didudukkan secara hukum agar tidak terjadi kegaduhan-kegaduhan atas tafsir serta opini yang keliru yang dikembangkan. Produk putusan MK, lanjut dia, sudah menyelesaikan semua hal yang terkait dengan sengketa hasil Pilpres 2019. (zul)