Menyikapi Framing Negatif Menjelang Akhir Jabatan Presiden Jokowi

  • Whatsapp
foto Ist Presiden Jokowi Hadiri Laga Final F-1H20

Jakarta-Indonesia Weekly

Jokowi akan mengakhiri masa jabatannya, 20 Oktober 2024 mendatang. Artinya masa jabatan mantan walikota Solo itu tinggal menghitung hari.

Read More

Jokowi awal karier politiknya sebagai sosok pembawa “harapan baru” rakyat Indonesia. Bapak tiga anak itu, identik dengan blusukan, istilah dalam bahasa Jawa yang berarti turun langsung ke lapangan untuk mendengar persoalan yang dihadapi masyarakat. Apa yang menjadi Legacy Jokowi bisa dilihat pada kinerjanya selamanya 10 tahun ini.

Namun, penghujung kekuasaan Jokowi dituduh, telah mengonsolidasikan “oligarki” dan sedang ingin melanggengkan kekuasaan dengan merancang putra sulungnya, melaju ke Pilpres 2024. Pada Pilres 2024 putra sulung Presiden Jokowi, Gibran berpasangan dengan Prabowo Subianto sebagai wakil presiden Prabowo Subianto yang didukung Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Padahal dipilihnya Gibran sebagai wakil presiden sebenarnya inisiatif Prabowo  dan partai pendukungnya sendiri. Kontroversial lainnya yang memojokkan Jokowi, yakni ketika pada 2019, pemerintah dan DPR mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

foto Ist

Dimana revisi tersebut dianggap masih mengandung pasal-pasal karet seperti penghinaan presiden, pemerintah, dan pengadilan; pasal yang memuat ancaman pidana bagi aksi demonstrasi tanpa pemberitahuan; pasal penodaan agama; mengkriminalisasi hubungan seksual di luar pernikahan; dan pasal-pasal problematis lainnya.

Begitu juga diterbitkannya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, yang oleh Amnesty dianggap mengancam HAM karena sangat berpihak pada investor dan mengancam kesejahteraan buruh, juga disahkan pada 2023 dengan cara yang sama.

Ada pula revisi Undang-Undang KPK yang dianggap “melemahkan” lembaga antirasuah tersebut. Salah satu dampaknya telah terlihat pada merosotnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 ke titik terendah dalam 10 tahun terakhir.

Terbaru soal Tabungan Peruamahan Rakyat (Tapera) dan lain sebagainya. Meskipun demikian persoalan-persoalan itu  sejatinya bukan menjadi kebijakan Jokowi, Tetapi publik kadung menunjuk Jokowi sebagai penyebab utamanya.

Inisiatif itu adalah dari DPR. Sedangkan perubahan usia minimal pencalonan gubernur, dimana penurunan usia minimal calon gubernur, yang dianggap berkaitan dengan pencalonan Kaesang Pangarep, putra Jokowi, dalam Pilkada mendatang juga tak ada kaitannya dengan kebijakan Presiden Jokowi.

Mengacu pada konsep pemisahan kekuasaan, trias politica yang dianut dalam demokrasi, pemerintah negara di Indonesia menjadi tiga jenis kekuasan yaitu eksekutif, legislative dan yudikatif. Kendati demikian banyak orang masih tetap menyalahkan Jokowi. Publik menganggap upaya itu sebagai pembuka jalan bagi keluarga presiden menciptakan dinasti politik.

Suka atau tidak suka apa yang ditunjukkan orang yang kontra terhadap Jokowi, sebenarnya hal yang sifatnya subjektif. Tidak ada indikator yang bisa mengukur rasa suka terhadap Presiden Jokowi. Kritik miring, sebenarnya tidak mewakili mayoritas bangsa Indonesia.

Berdasarkan  Survei Kompas jelang akhir masa jabatannya, secara umum, citra Presiden Joko Widodo menunjukkan tren positif di mata publik. Hasil survey periode Juni 2024 merekam, 89,4 persen responden menilai positif citra Presiden.

Proporsi tersebut terdiri dari gabungan antara 68,9 persen responden yang memberikan penilain baik dan 20,5 persen penilaian sangat baik. Survei tersebut menunjukkan citra dan kinerja Jokowi akhir jabatannya masih tinggi dan disukai masyarakat.

Mengutif penjelasan, Anthony Downs dalam “An Economic Theory of Democracy” di Forum News network, politisi bertindak berdasarkan kalkulasi rasional untuk memaksimalkan keuntungan elektoral mereka. Namun, ketika mereka tidak lagi memiliki ambisi elektoral, keputusan mereka lebih mencerminkan keinginan untuk meninggalkan warisan yang berarti.

Lebih lanjut katanya, ada beberapa alasan yang bisa dilihat dari berbagai kontroversi yang ada. Pertama adalah soal legacy building. Jokowi tampaknya fokus pada meninggalkan warisan yang signifikan, baik dalam hal infrastruktur, reformasi hukum, maupun kebijakan sosial. Kebijakan-kebijakan kontroversial ini bisa dilihat sebagai upaya untuk memastikan bahwa visi dan programnya bertahan lama setelah ia meninggalkan jabatan.

Alasan kedua adalah soal political capital. Sebagai presiden yang tidak akan mencalonkan diri lagi, Jokowi memiliki kebebasan lebih besar untuk menghabiskan modal politiknya pada keputusan yang mungkin tidak populer tetapi dianggap penting. Ini mencakup kebijakan yang bertujuan untuk memperbaiki struktur dasar pemerintahan dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.

Alasan terakhir adalah soal respon terhadap krisis dan tantangan. Kebijakan-kebijakan yang kontroversial mungkin juga dilihat sebagai respons terhadap tantangan dan krisis yang berkembang, yang membutuhkan tindakan cepat dan berani. Misalnya, reformasi dalam sektor keamanan mungkin didorong oleh kebutuhan untuk menyesuaikan institusi ini dengan tantangan keamanan yang terus berkembang.

Berbagai kebijakan Jokowi yang dianggap kontroversial, termasuk keputusannya mendukung, calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka tak lain dan tak bukan, agar lagecy yang telah ditinggalkannya untuk Indonesia Maju terus berlanjut. Apakah Prabowo-Gibran akan meneruskan Legacy Jokowi dan membawa Indonesia Emas 2045? (zul)

Related posts