Sore itu, puluhan kapal tampak berjajar di tengah samudra dengan ragam menawan yang memanjakan setiap pasang mata. Para nelayan, terlihat antusias mengikuti ritual. Tradisi laut ini, ditandai kirap sesaji dan pengajian, yasinan, doa dan diakhiri pemberian santuanan kepada anak yatim dan kaum dhuafa.
Gambaran ritual luhur ini, bentuk rasa syukur atas limpahan rezeki, yang diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di laut lepas. Tradisi selamatan, tidak memandang agama, suku dan ras dan masih dilaksanakan para nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.
Sejak dulu suku-suku di kawasan perairan Nusantara terkenal sebagai pelaut ulung. Keberanian dan kecakapan dalam mengarungi lautan luas menjadi ciri tersendiri. Dibalik keberanian dan kecakapan dalam mengarungi lautan luas itu, terdapat ritual khusus bermakna, keselamatan, syukur, kesucian, dan sikap budaya saling berbagi.
Para nelayan tradisional, dalam melakukan aktifitas memiliki tradisi unik tersendiri. Upacara adalah ekspresi budaya yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat, yang telah dianut secara turun-temurun.
Bagi nelayan, setiap kapal ikan, harus dijaga kesuciannya. Hal-hal yang dilarang adat apalagi agama tidak boleh dilakukan khusus saat berada di kapal. Termasuk wanita yang sedang haid tak boleh naik ke atas kapal. Bila dilanggar pemali atau akan mendatangkan kesialan.
Hal unik lainnya adalah perkawinan antara juru mudi dengan kapal nelayan yang akan mengarungi lautan lepas. Tradisi tersebut, bermakna luhur dan kesucian. Seperti penjelasan, seorang tekong atau juru mudi yang tak bersedia disebut namanya, ketika ditemui di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara belum lama ini.
Menjadi seorang tekong atau juru mudi kapal katanya, tidak bisa sembarangan selain harus jadi juru mudi kapal dan uga diharuskan menjalani ritual suci perkawinan layaknya suami-isteri.
Menurut pria asal Tegal tersebut, jika ingin mendapat keberkahan dan keselamatan dalam melaut seorang juru mudi, harus, menyatu dengan kapalnya. Tradisi ini dalam kepercayaan tradisional Jawa sebagai bentuk penyatuan agar juru mudi akan lebih bertanggung jawab terhadap kapal bawaanya.
Perkawinan, akan mengikat antara dua pikiran yang berbeda kemudian disatukan dalam bahtera rumah tangga melalui perkawinan layaknya sebagai suami isteri.. (dari berbagai sumber-zul)