Jakarta-Indonesia Weekly
Carut marut wajah peradilan di Indonesia, terkait penanganan kasus guru honorer Supriyani dan meninggalnya kasus Vina di Cirbon, menjadi potret buram hukum di Indonesia.
Penangan dua kasus itu, sangat mengusik rasa keadilan rakyat kecil. Untuk diketahui polisi menetapkan guru honorer bernama Supriyani di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra) sebagai tersangka penganiayaan terhadap siswanya yang merupakan anak polisi.
Namun, Supriyani membantah menganiaya anak polisi tersebut. “Saya tanya dengan tulus, dia menangis ke saya dan mengaku tidak melakukan sekejam itu kepada siswanya,” kata Ketua PGRI Sultra Abdul Halim Momo kepada wartawan, Senin (21/10/2024) lalu.
Halim mengaku menemui Supriyani yang sedang mendekam di jeruji besi di Lapas Perempuan Kelas III Kendari, Senin (21/10) siang. Setelah berbincang panjang, Halim memastikan kasus tersebut merupakan kriminalisasi terhadap guru.
Sementara tayangnya Film Vina: Sebelum 7 Hari yang mengadaptasi kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita atau Vina Cirebon mengungkap kejanggalan dalam pengungkapan kasus tersebut: Keluarga korban mencium ada upaya rekayasa atas kematian Vina. Publik terus menyuarakan dugaan kejanggalan di balik kasus ini.
Penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya dan seorang oknum pengacara serta mantan pejabat Kepala Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung oleh Kejaksaan Agung RI dalam perkara suap dan korupsi dalam penanganan perkara menjadi langkah awal perbaikan hukum era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Sikap keras dan tegas sebagai prajurit melalui proses hukum secara konsisten dalam upaya penegakan hukum harus menjadi momentum perbaikkan hukum secara menyeluruh yang selama ini dirasa kurang memihak ke masyarakat kecil.
Kaloborasi Prabowo-Gibran hendaknya dapat menghadirkan pemerintah yang berorientasi pada keadilan social. Setiap orang sudah semestinya diperlakukan setara di depan hukum dan mendapatkan hak-haknya dengan adil. Dalam kasus Vina dan Supriyani keadilan hukum diuji dengan banyaknya kejanggalan yang ditemukan.
Sejatinya, hukum diadakan untuk menghadirkan keadilan, kebaikan, dan keberpihakan kepada kepentingan masyarakat luas. Namun disayangkan penegakan hukum kita seperti lebih berorientasi pada kepentingan yang berkuasa dibandingkan kepentingan rakyat.
Tak heran bila masyarakat menganggap lebih banyak mengenal hukum di negeri ini, tajam ke bawah tumpul ke atas. Inilah sebuah potret peradilan di Indonesia yang patut jadi sorotan. Contoh kasus Vina dan Supriyani guru honorer menjadi sorotan publik terhadap kredibilitas institusi hukum di Indonesia.
Pengakuan dari pelaku yang merasa dipaksa mengaku oleh pihak kepolisian menambah panjang daftar kejanggalan dan, memperlihatkan ketidakadilan yang kian menumpulkan tajamnya hukum di negara ini. Kasus Vina Cirebon dan Supriyani membuka mata kita akan pentingnya penegakan keadilan, sebuah prinsip yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam.
Islam menempatkan hukum dan keadilan sebagai pilar utama dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, dengan tujuan melindungi hak-hak individu dan memastikan keseimbangan dalam masyarakat.
Dalam konteks ini, kepastian hukum menjadi sangat penting. Kepastian hukum mengacu pada penerapan hukum yang konsisten dan dapat diprediksi. Artinya, setiap tindakan hukum harus didasarkan pada aturan yang jelas dan tidak boleh ada ruang untuk interpretasi yang sewenang-wenang.
Untuk mengatasi masalah ini, perlunya pembuatan Protap atau Peraturan Kapolri (Perkap) dalam penanganan kasus berkaitan dengan masyarakat. Selain itu perlu adanya reformasi dalam sistem penegakan hukum di Indonesia untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses hukum. (Penulis : Pakar Hukum Pidana, Dr. H. Anwar Husin, S.H. M.H.M.M)