Kebijakan PIT Penghambat Usaha Perikanan atau Perlindungan Hak Nelayan???

  • Whatsapp
Kepala PSDKP Muara Angke Robbani

JAKARTA, Indonesia Weekly

Penghidupan nelayan dan pelaku bisnis perikanan di Indonesia serasa kian hari semakin tak menentu. Setelah diberlakukannya  kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang diatur melalui PP Nomor 11/2023 ditenggarai menjadi penghambat usaha perikanan Indonesia.

Read More

Seperti dikatakan Ketua Bidang Perikanan dan Peternakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Hendra Sugandhi dalam Diskusi Publik KNTI ‘Arah Kebijakan Baru Pemerintah Indonesia pada Tata Kelola Perikanan.

Foto kapal parkir di Muara Angke

Hendra Sugandhi lebih lanjut mengatakan bahwa, penangkapan ikan terukur itu kuota jumlah tangkapan ikan mengabaikan status tingkat pemanfaatan, semua (Wilayah Pengelolaan Perikanan-WPPNRI) dianggap hijau.

“Apalagi JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) itu hanya estimasi bukan angka pasti jika over estimasi membahayakan keberlanjutan sumber daya ikan,” kata Hendra dikutip dari kanal Youtube DPP KNTI Nelayan Indonesia, Kamis, 31 Oktober 2024.

Oleh karena itu, ia mengusulkan agar PP 11/2023 itu dibatalkan atau dicabut demi berjalannya usaha perikanan yang baik. Hendra juga mengurai peraturan-peraturan lain yang menjadi penghambat. Di antaranya PP 85/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Problem ketersediaan dan harga solar yang melambung, sebetulnya bukan menjadi kendala utama para nelayan untuk tidak melaut. Tapi , penerapan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 85/2021 yang ditenggarai menjadi biang keladinya.

Ketentuan naiknya besaran tarif PNBP kepada nelayan menurut pengurus kapal sebut saja ujang, menjadi sekitar 5-10 persen dirasa sangat memberatkan. Padahal aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1 persen.

foto Pedagang ikan eceran di Muara Angke

Kemudian di PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. Dan di aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60GT dikenakan tarif 5 persen untuk PNBP.

Hal lain yang dihadapi nelayan untuk penangkapan ikan adalah mengenai retribusi atau pungutan  izin daerah dalam pengurusan Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut (SIKPI).

Akibat dari pungutan yang ada dalam pembuatan dokumen tersebut, nelayan menjadi terbebani dengan tambahan biaya non operasional yang bertambah. Selain itu persoalan lokasi pendaftaran dokumen SIPI dan  SIKPI yang tidak berdekatan dengan lokasi tempat tinggal nelayan juga menjadi masalah.

Untuk  mendapatkan surat-surat tersebut terkadang tidak dapat selesai dalam satu hari saja. Tentunya hal itu ikut menghabiskan waktu yang dimiliki oleh para nelayan yang seharusnya bisa dimaksimalkan untuk menangkap ikan.

Dampaknya dari semua itu, banyak kapal nelayan yang memilih tidak mendaftarkan kapalnya. Kebijakan lain dinilai jadi factor penghambat adalah penyesuaian Harga Acuan Ikan, tidak hanya mempertimbangkan masukan para pelaku usaha perikanan, tapi juga mempertimbangkan harga pokok produksi atau biaya operasional.

Sebelumnya Pemerintah Pusat telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.85/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang mengatur pungutan pajak pasca produksi perikanan yang tidak lagi mengacu pada tonase kapal tetapi pada hasil produksi yang dihasilkan dalam setahun.

Aturan turunannya dalam bentuk Kepmen KP No.21/2023 tentang Acuan Harga Ikan yang didalamnya mengatur tentang harga beberapa jenis ikan. Misalnya untuk ikan cakalang harga acuannya Rp9.000/kilogram saat didaratkan di PPI atau TPI, maka nilai pungutan PNBP dari nelayan sebesar 5 atau 10 persen dikalikan harga acuan jika hasil tangkapannya 1 ton.

Lindungi Nelayan

Menurut Kepala PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) Muara Angke, Robbani, ketika diwawancari IW di kantornya Muara Angke Rabu, (15/01/2025) mengatakan bahwa Syahbandar di pelabuhan perikanan di pelabuhan Muara Angke,  berperan penting dalam perlindungan awak kapal perikanan melalui mengawal penerbitan perjanjian kerja laut (PKL) antara awak kapal perikanan dengan pemilik kapal perikanan.

“Hal  ini penting agar hak dan kewajiban awak kapal perikanan dapat terpenuhi sebelum, saat dan setelah melaut melakukan aktivitas perikanan termasuk di dalamnya jaminan sosial dan asuransi,” imbuhnya.

Adanya jaminan itu katanya bertujuan agar keselamatan dan keamanan berlayar, khususnya untuk mencegah dan menanggulangi illegal fisihing. Selain itu tambahnya, Syahbandar dan petugas kesyahbandaran di pelabuhan perikanan, harus tahu pasti produksi dari masing-masing kapal baik jumlah dan jenis ikannya.

Syahbandar, memiliki wewenang untuk mengeluarkan persetujuan berlayar (PB) apabila kapal perikanan telah memenuhi syarat laik laut, laik tangkap dan laik simpan. Adanya PB juga merupakan salah satu cara dalam pengendalian sumber daya ikan untuk pencegahan aktivitas Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUUF).

Tugas dan kewenangan syahbandar di pelabuhan perikanan ujarnya memastikan setiap kapal perikanan yang akan berlayar dari pelabuhan perikanan wajib memiliki surat izin berlayar kapal perikanan yang di keluarkan oleh syahbandar.

Syahbandar dan petugas kesyahbandaran di pelabuhan perikanan, katanya menjadi central point dari pelaksanaan penangkapan ikan terukur dan PNBP pasca produksi. Lebih lanjut katanya aturan yang dibuat KKP pada dasarnya dibuat untuk melindungi nelayan dan sumber daya ikan di laut Indonesia.

“Syahbandar dan petugas kesyahbandaran di pelabuhan perikanan juga diharuskan mengetahui secara pasti produksi dari masing-masing kapal baik jumlah dan jenis ikannya. Oleh karena itu perlu diatur pembagian kerjanya,” Tandas Robbani.  (zul)

Related posts