Jakarta, Indonesia Weekly
Ketua Umum Militan 34 (M34),Dr. Anwar Husin, S.H, M.M, minta adanya dualisme kepemimpinan di Partai Demokrat, tidak mengkait-kaitkan dengan Presiden Jokowi. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu, sama sekali tidak bisa ikut campur dan melarang adanya KLB di Partai Demokrat di Deliserdang , Sumatera Utara.

Anwar mempertanyakan nerasi, statmen pengamat Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun di sebuah media online yang menilai KLB yang mengatasnamakan Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara, menunjukkan secara telanjang, adanya intervensi ‘orang istana’ terhadap keberadaan partai politik.
Menurut pengacara kondang tersebut, apa yang dilakukan Moeldoko itu, merupakan urusan pribadinya sendiri dan tidak mewakili istana Negara, walaupun mantan Panglima TNI tersebut, merupakan Kepala Staf Presiden (KSP).
Jokowi tidak bisa melarang, karena itu merupakan urusan pribadi Moeldoko sendiri. “KLB Partai Demokrat tak mewakili istana Negara,” demikian kata Anwar ketika berbincang-bincang di sebuah hotel di kawasan Jakarta Selatan, Minggu sore (6/3).
Berdasarkan aturan yang sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, katanya, pemerintah tak bisa melarang atau mendorong kegiatan yg mengatasnamakan kader Partai Demokrat di Deliserdang Sumatera Utara.
Apalagi kasus dualisme kepemimpinan partai bukan kali ini saja terjadi, pernah juga dialami PPP. Malah sebelumnya di era Pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada saat Matori Abdul Jalil (2000) yang pada saat itu, berususaha mengambil alih PKB dari Gus Dur yang kemudian Matori kalah di Pengadilan (2003).
Begitu juga pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)2008, dimana pada saat itu, SBY tidak melakukan pelarangan ada PKB versi Parung (Gus Dur) dan versi Ancol (Cak Imin), karena hal itu merupakan urusan internal parpol itu sendiri. “Apakah saat itu, ada yang mengkait-kaitan dualisme tersebut dengan Megawati dan SBY?”ujarnya.
Pembentukan Opini
Menurut pakar hukum pidana tersebut, belakangan ini apapun permasalahan dicoba untuk dikait-kaitkan dengan presiden Jokowi. Terakhir Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengirim surat ke Jokowi, minta penjelasan keterlibatan Moeldoko adanya isu kudeta ketum Partai Demokrat.
Sebenarnya apa yang dilakukan AHY tersebut tak ada urusannya dengan Presiden Jokowi. Seharusnya, langsung saja mempertanyakan sendiri kepada Moeldoko. Anehnya nerasi-nerasi yang menyudutkan Jokowi tersebut terkadang begitu dipaksakan. Seolah-olah semuanya ada kaitannya dengan kebijakan Jokowi.
Nerasi-nerasi yang memojokkan presiden Jokowi bermacam-macam. Mulai isu agama, komunisme dan terakhir kebebasan berpendapat. isu-isu tersebut dimainkan elite politik yang ingin membantuk opini untuk menjelek-jelekan dan menyerang presiden. “Seoalah-oleh Jokowi otoriter, anti kritik, melakukan politik kotor dan hal jelek lainnya,” pungkas loyalis Jokowi tersebut.
Jokowi kata Anwar sudah menjadi pilihan mayoritas masyarakat Indonesia. Seharusnya para elite politik memberi kesempatan Jokowi untuk bekerja. Pak Jokowi itu kepala negara yang juga simbol negara. “Tidak seharusnya direndahkan , dihina dan dicari-cari keselahannya,”tukas Anwar.
Anwar meyakni, pemerintahan Jokowi tak meneruskan tradisi buruk untuk membungkam suara-suara kritis yang pernah terjadi pada era Orde Baru. Konstitusi kita sudah mengatur hak masyarakat menyampaikan ekspresi, kritik.
Tetapi semua itu harus sesuai aturan hukum yang berlaku. Jangan dengan alasan mengkritik tetapi malah melanggar hak orang lain. “Kalau nggak mau berurusan dengan pihak berwajib, kritiklah yang benar. Jangan menghina, menghujat atau menyebarkan berita bohong,” katanya.
Pengacara yang membuka kantor , Dr. Anwar Husin, S.H,M.M & Patner Law Firm tersebut, meminta para elite mengajak masyarakat turut mendinginkan suasana. Anwar berharap supaya para elite terus mengajak dan mendorong pendukungnya untuk tidak memperkeruh suasana, karena pemerintah sekarang sedang giat-giatnya membangun negari dan menghadapi pandemi Covid-19. (zul).