Jakarta Indonesia Weekly
Presiden Jokowi berada dalam tekanan terbesar sepanjang pemerintahannya. Banyak orang menyerang gara-gara virus corona. Padahal Presiden Joko Widodo menangani wabah Virus Corona secara senyap agar tak menimbulkan kepanikan di masyarakat.
Mantan gubernur DKI Jakarta itu, turut melibatkan intelijen Negara menghadapi virus yang diduga berasal dari negeri tirai bambu itu. Pemerintah pusat tidak ingin menciptakan rasa panik, tidak ingin menciptakan keresahan di tengah masyarakat.
Karena itu, pemerintah pusat tidak bersuara, tetap tenang, tetapi berupaya keras menghadap wabah yang kini telah menyerang Indonesia itu. Kerja kongkret, Jokowi dalam menghadapi wabah yang diduga dari kelelawar itu, terlihat, ketika menanganan pasien nomor 01 dan 02.
Pemerintah pusat secara diam-diam meminta keterangan keduanya dan menelusuri orang-orang yang berkontak dengan mereka untuk melihat kemungkinan sebaran wabah. Dalam dua hari tim reaksi cepat dari Kemenkes, dibantu intelijen BIN dan Polri sudah mendapatkan 80 nama, yang berada di klaster ini.
Setiap ada klaster baru, tim reaksi cepat langsung memagari. Selain itu, Jokowi secara cepat memutuskan dan memproses pembangunan rumah sakit khusus penyakit menular di Pulau Galang. Dalam dua bulan, Jokowi sudah mengadakan rapat paripurna satu kali, rapat terbatas lima kali, serta rapat internal sehari hingga dua kali khusus membahas Corona.
Jokowi juga terus memperkuat koordinasi lintas Kementerian/Lembaga, TNI, Polri, pemerintah pusat dan daerah. Ketika Indonesia sudah terjangkit virus Corona, memang sulit untuk tidak mengkritisi pemerintah. Bahkan ’ nyinyir’-pun jadi mendapat pemakluman. Maklum karena Menkes seperti terlalu santai dan ngasal.
Puncak kekecewaan banyak orang ketika Presiden dan Menkes mengumumkan kasus Corona untuk yang pertama kalinya. Info yang disampaikan ternyata salah, tidak sesuai dengan pengakuan pasien. Presiden bilang pasien 01 dan 02 tertular oleh WN Jepang yang berkunjung ke rumahnya.
Sementara pengakuan pasien, mereka bertemu dengan WN Jepang tersebut di klub dansa Paloma. WN Jepang tersebut tak pernah berkunjung ke rumah mereka. Kenapa Presiden berbohong? Atau katakanlah kenapa data yang disampaikan ke Presiden tidak akurat? Kenapa dan kenapa.
Setelah ditelusuri, ternyata Presiden tak pernah mengatakan bahwa WN Jepang tersebut berkunjung ke rumah pasien 01 dan 02. Presiden hanya mengatakan bertamu ke Indonesia. Tidak menyebutkan lokasi spesifik (rumah atau klub dansa).
Tapi penggunaan kata bertamu telah sukses membuat penafsiran baru, seolah WN Jepang itu datang ke rumah pasien 01 dan 02. Dari sinilah kemudian, betapa luar biasanya Presiden Jokowi mengendalikan persepsi publik.
Kemudian, Presiden tidak menyebutkan bahwa penularan terjadi di klub dansa (tempat publik).Sehingga publik sekedar dibuat bertanya-tanya untuk apa WN Jepang itu datang ke Indonesia. Bayangkan kalau Presiden secara terbuka mengatakan penularan terjadi di klub dansa, mungkin efek paniknya akan jauh lebih dahsyat dari sekedar borong-borong makanan pokok.
Belakangan, kita akhirnya dapat informasi dari jubir Kemenkes bahwa penularan terjadi di klub dansa. Tapi itu tak masalah. Dampaknya tak terlalu kuat. Sehingga masyarakat juga jadi santai dan biasa saja.
Intervensi WHO
Kemudian terkait WHO. Dua hari sebelum pengumuman kasus 01 dan 02 oleh Presiden, WHO secara terbuka mengatakan ingin melakukan double chek kepada orang-orang sakit di Indonesia yang berpotensi positif Corona.
Karena pada dasarnya mereka tak percaya Indonesia masih belum tertular Corona. Pemerintah secara terbuka menerima dan menganggap itu langkah kolaborasi yang positif. Tapi kemudian hal itu batal dilaksanakan karena pemerintah sudah mengumumkan ada kasus 01 dan 02.
Lalu yang terbaru kemarin, WHO kembali melakukan manuver. Mengirimkan surat kepada pemerintah agar segera menetapkan status darurat nasional. Surat itupun beredar dan menjadi pemberitaan oleh semua media. Terbuka. Semua orang bisa baca. Namun lagi-lagi Presiden Jokowi melakukan respon brilian.
Tak ada surat balasan. Tak ada tanggapan terbuka. Presiden langsung menelpon WHO. Tak ada yang tahu pasti apa saja yang dibicarakan Presiden dengan Dirjen WHO. Kabar adanya telpon pun belakangan kita ketahui dari pernyataan Tedros Adhanom di halaman sosial medianya. Bukan dari Presiden atau stafnya.
Sekali lagi ini sangat brilian. Tedros Adhanom mungkin senang bukan kepalang karena ditelpon oleh Presiden dari negara besar. Sehingga dia menuliskannya di akun sosial media. Sementara Presiden Jokowi dan pemerintah otomatis keluar dari tekanan saran WHO, yang menginginkan Indonesia berstatus darurat nasional.
Satu lagi masalah selesai tanpa konflik berkepanjangan. Sekarang WHO terpaksa setuju bahwa Indonesia punya kemampuan dan itu tak bisa dipertanyakan lagi. Betapa kuat mental Presiden kita itu. dihina, dicaci, diragukan dan seterusnya.
Bahkan langkahnya tak dipahami oleh banyak kalangan. Jangankan media dan relawan, bahkan staf-staf tertedat Presiden pun bungkam. Tak ada yang mampu menjelaskan bahwa Presiden telah melakukan segalanya, secara maksimal, dan yang terbaik untuk bangsa ini.
Di tengah tekanan banyak pengkritik dalam negeri dan pihak asing yang datang bertubi-tubi. Dari kecurigaan sampai tuntutan transparansi. Presiden Jokowi bertahan dengan sekuat tenaga melindungi negeri ini. Indonesia beda dengan Negara lain besar.
Indonesia juga bukan China yang bisa otoriter mengisolasi satu pulau, atau membuat rumah sakit khusus dalam seminggu. Indonesia juga bukan Inggris yang bisa menjelaskan bahwa kapasitas rumah sakit terbatas dan tak bisa menampung semua orang yang sakit flu.
Sehingga dianjurkan untuk istirahat di rumah masing-masing. Indonesia juga bukan Italia, yang sejak awal muncul kasus Corona di Wuhan, pemerintah Italia memeriksa semua orang yang sakit flu dan batuk.
Negara kita unik dan berbeda. Jangan hanya karena negara lain melakukan A, kita lantas harus mengikutinya. Jangan karena Trump sudah mengumumkan Amerika sebagai negara darurat Corona, lalu kita mau melakukan hal yang sama.
Indonesia ini luas. Yang rame soal Corona hanya orang-orang di perkotaan saja. Jakarta dan sekitarnya. Sementara di desa, warga tetap beraktifitas seperti biasa. Pabrik-pabrik, sekolah dan pelayanan tetap aktif. kalau sampai meniru Amerika dengan mengumumkan darurat nasional, atau meniru Italia yang menghimbau semua warganya agar tak keluar rumah, bisa-bisa kondisi kita akan jauh lebih buruk dari ini.
Presiden Jokowi dengan lapang dada membiarkan dirinya dituduh, dikritik dan dicaci. Bertahan dan teguh dalam pendirian, untuk tidak terpengaruh dengan intervensi asing dan oposisi. Karena beliau tahu, ini bukan untuk nama baiknya, bukan untuk popularitas dan citranya. Ini semua dia lakukan untuk Indonesia. (Dari berbagai sumber) Penulis: Dr. Anwar Husin, SH, MH merupakan Ketum DPP Militansi 34.