Jakarta Indonesia Weekly
Memasuki awal 2022, isu agama nampaknya terus menghiasi kancah perpolitikan Indonesia. Agama kembali menjadi komditi seiring dengan penggunaan politik identitas yang semakin menguat.
Cuitan mantan kader Partai Demokrat Ferdinand Hutahaen yang diduga mengandung SARA seakan menguatkan kembali politik identitas. Ferdinand diduga telah menyebarkan informasi pemberitaan bohong yang bisa menimbulkan keonaran di masyarakat.
Manuver politik yang menyeret agama berawal, sejak Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) mencalonkan diri menjadi gubernur DKI Jakarta tahun 2017. Pro dan kontra terhadap pernyataan Ahok tentang surah Al Maidah ayat 51 tak hanya melibatkan warga DKI Jakarta tetapi terjadi juga diberbagai daerah di Indonesia.
Sentimemen agama dimainkan pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politiknya ditunjukan secara vulgar dan telah mengindahkan kebhinnekaan kita sebagai identitas bangsa yang diwarisankan para leluhur sejak dulu kala.
Dampak dari politisasi agama lima tahun lalu itu ternyata sangat menganggu kebhinnekaan kita sebagai satu bangsa. Hingga kini riak-riaknya masih terus terasa dan dampak negatifnya sangat sulit untuk diredakan .
Kasus Ahok sepertinya tidak menjadi pelajaran bagi kaum elite politik di negeri ini untuk tidak membawa-bawa agama dalam menyuarakan kepentingan politiknya. Padahal Risiko pengunaan isu agama membuat tensi politik Indonesia terus berkepanjangan. Terbukti konflik Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga kini belum juga mereda.
Agama sejatinya tidak dijadikan alat untuk menyerang lawan politik, tetapi agama semestinya diposisikan pada tempat yang mulia. Karena politisasi agama akan berdampak buruk dan bahaya bagi keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
Ketika ruang politik digiring ke ruang agama maka akan terjadi sekat-sekat dalam kehidupan masyarakat. Politik dianggap seperti surga dan neraka. Padahal agama itu urusan personal, urusan dengan Tuhan dan tidak ada urusan dengan politik.
Masyarakat awam pada dasarnya binggung, mendengar para elite bicara. Apakah murni menegakkan agama atau hanya melempiaskan syahwat kekuasaaan saja. Disini, para pemuka agama harus turun gunung memberikan pemahaman yang benar terhadap ajaran agama.
Sehingga sekat-sekat perbedaan tidak terus melebar dan masyarakat tidak terus menjadi korban kelompok yang membawa symbol agama demi kepentingan ekonomi dan kekuasaan politiknya.
Negara juga dalam kaitan politisasi agama ini, tidak boleh diam. Negara harus hadir untuk melindungi warga termasuk menindak tegas kelompok yang memanfaatkan agama untuk kepentingan provokasi.
Kenapa? Jika ini terus terjadi maka pembelahan masyarakat akan terus terjadi dan akan mengancam nilal-nilai kebangsaan yang bersumber pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Sesanti Bhinneka Tungal Ika. (Naskah Opini Ketum Militan 34 Dr. Anwar Husin, S.H.M.M) (***)