Jakarta Indonesia Weekly
Pemerintah memutuskan membatasi kegiatan masyarakat di Pulau Jawa dan Bali mulai 11 hingga 25 Januari 2021, demikian kata Ketua Komite Penangan Covid-19 dan pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto dalam jumpa pers belum lama ini.
Pembatasan kegiatan tersebut tidak dilakukan di seluruh kabupaten/kota yang berada di Pulau Jawa dan Bali. Pembatasan diterapkan sesuai dengan parameter yang telah dibuat pemerintah. Berikut farameter yang dimaksud:
Tingkat kematian diatas rata-rata tingkat kematian nasional ataupun 3%, tingkat kasembuhan dibawa rata-rata tingkat keseimbangan nasional yaitu 82%, tingkat kasus aktif dibawah rata-rata tingkat kasus aktif nasional yaitu 14%,tingkat ketersedian rumah sakit atau bed occupancy rate (BOR) untu ICU dan isolasi yang di atas 70%.
Persepsi tentang kesiapan dan keseriusan Pemerintah tersebut katanya perlu disampaikan kepada publik secara komprehensif dan tidak membuat masyarakat panik. Dalam menyampaikan sesuatu kata pakar hukum pidana tersebut hendaknya memperhatikan psikologi masyarakat. “Hal ini harus menjadi perhatian jubir pemerintah,”kata Ketua Umum Militan 34, Dr. Anwar Husin, S.H,M.M ketika dihubungi lewat ponselnya Selasa sore (12/01).
Dampak ekonomi dari pandemi ini memiliki efek dramatis pada kesejahteraan masyarakat, khususnya, keluarga yang rentan, hilangnya penghasilan akan berakibat pada meningkatnya kemiskinan. Untuk itu, sosialisasi ke masyarakat terukur dan, tidak boleh sembarangan karena akan mengakibatkan hilangnya penghasilan masyarakat
Masyarakat miskin umumnya tidak memiliki uang simpanan untuk menghadapi kondisi ekonomi yang memburuk. Untuk itu, pemerintah harus memberi solusi secara rinci apa saja batasan larangan kegiatan , sehingga tidak terjadi kepanikan di masyarakat.
Dasar Hukum PSBB
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan kebijakan yang dipilih pemerintah pusat dalam merespon adanya Kedaruratan Kesehatan. Kebijakan ini berlandaskan UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Berdasarkan UU No. 6 Tahun 2018 kata Anwar, penerapan kebijakan lockdown merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Jika kita meninjau kepada ketentuan umum dari masing-masing penyelenggaraan dari Kedaruratan Kesehatan, disertai dengan peninjauan terhadap beberapa pasal di dalamnya, seperti pada Pasal 15 ayat 2 tersurat bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan salah satu bentuk tindakan dalam menjalani Karantina Kesehatan.
Definisi PSBB yang tertuang dalam ketentuan umum memiliki prinsip yang hampir sama dengan Physical Distancing, yakni adanya pembatasan kegiatan masyarakat. Sedangkan, Karantina Wilayah dalam ketentuan umum merupakan pembatasan penduduk dalam suatu wilayah, yang diduga terinfeksi penyakit atau terkontaminasi .
Pintu Masuk yang dimaksud disini memiliki arti sebagai tempat masuk dan keluarnya segala jenis kendaraan, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas darat negara. Mekanisme mengenai Karantina Wilayah diatur pada Pasal 54 dan Pasal 55 dalam UU No. 6 Tahun 2018.
Pasal 54 dijelaskan mengenai mekanisme Karantina Wilayah dalam ayat: (2) perlunya pemberian garis pada wilayah yang dikarantina, serta wilayah tersebut harus terus dijaga oleh pejabat karantina kesehatan dan pihak kepolisian (3) anggota masyarakat yang dikarantina tidak diperbolehkan untuk keluar masuk wilayah yang sedang karantina.
Pasal 55 dijelaskan adanya kewajiban yang harus ditanggung pemerintah guna mendukung pelaksanaan Karantina Wilayah dalam ayat: (1) kebutuhan hidup dasar selama masa Karantina Wilayah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
Kebutuhan hidup dasar tersebut mencakup kebutuhan hidup dasar seseorang dan makanan hewan ternak yang berada dalam wilayah karantina. (2) tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah pada ayat (1) dapat melibatkan Pemerintah Daerah.
Dari mekanisme penyelenggaraan Karantina Wilayah sesuai Pasal 54 dan Pasal 55 UU No. 6 Tahun 2018 dapat disimpulkan bahwa Karantina Wilayah merupakan nama lain dari kebijakan lockdown. Untuk itu kata Anwar pemerintah daerah dalam membuat kebijakan harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan tidak berjalan sendiri-sendiri.
Sehingga kebijakan pusat dan daerah selaras dan tidak membuat masyarakat bingung seperti pernah terjadi belum lama ini. Lebih lanjut kata Anwar pemerintah daerah memang dituntut untuk mengambil kebijakan yang bersifat cepat dan tepat dalam masa pandemi ini.
Pemerintah daerah hendaknya terus menerus mengawal dan mencermati kebijakan penanganan COVID-19 dan menyesuaikan kebijakannya terhadap tantangan-tantangan baru. “Kenormalan Baru, mewujudkan masyarakat yang terus aktif, produktif dan tetap sehat,” tandas Anwar. (***)